Sabtu, 13 Juni 2009

the formil terms of check

Do readers ever get a check for payment? I will explain the things that must be in the form of a check itself, so that readers can distinguish the original check or blank check.
Check the actual set in article 178 of Indonesian Law Book Trade Law, the following formal requirements in check, namely:

  1. there should be the word "check" which is written in the sheet. This must be written in the language in which language is used in the check itself. Check if the language is English, the word "check" this should use the English language.
  2. unconditional command to pay a certain amount of money. This does not mean the command associated with a particular related to both parties.
  3. Name of the person who must pay
  4. place where the payment will be made
  5. Date and place of the check is made / published
  6. signature of the create / publisher
    If the check you receive under one of the conditions above, then it can be said that the check you can not be diluted because they are not qualified from a formal check. Is even more important that these checks have only the validity period or a quote with the 70 day period only. This period is counted from the date the check was made, or by the date listed in the check. Why the author said this, because there is a check made by the date back.

LETTER STATEMENT AND LETTER afford (Relationships in Employment Law)

Readers may wonder in the heart, is there any relationship between the securities, with employment law? In employment law, I take the topic Termination of Employment Relations (PHK) an employee, but for the securities, I take a promissory note or letter is often referred to with letters afford. In fact, less than once or even not have a user's mailbox in the covenant afford. In fact this is the tool that is easy as there is evidence TORT. Still confused? Okay we one by one.

Able letter / promissory note is set in article 174 of Law Book Trade Law (KUHD), which pda is essentially a letter of its ability signer / publisher / creator of the letter to the holders of able, for the payment of money, on a certain date. So this is a promissory securities, because it can be transferable through endosemen. What is endosemen? Perhaps in the next discussion will be described. So in this case the debtor's promise to give to the debtor on a particular date. So what relationship in Employment Law?

We know that a worker who occupy certain positions in a company in which positions are at risk for the practice of corruption, it is very difficult to trust. One of the tricks that I can submit here is before the worker is working in a company if it's good to give letter or make a statement which essentially will work well, are responsible for all losses that he/she was did. So that after the agreement / contract work, there is no attachment to this letter which is a unity that is not integral to the work contract is. For further, in case of violations such as corruption, then we can impose criminal fraud, or according to the Law on Corruption, so that later occurred at the end PHK. However, to restore the company's assets that corruption or darkened, the criminal than through, the employee can be sued through the civil. But whether effective? The answer is no!

One of the tips as a HRD or personnel in a company, how is that employees are directed to the settlement of the family. How should the resignation, a letter is capable, based on the principal agreement (the contract), plus a letter contained in the attachments to work with a good and responsible, at the time of starting work. So essentially, both parties benefit from each other. If employees do TORT, can not return the money that is darkened, then the promissory letter is a basis for the civil suit, and can be used as the basis for articles in 1131 and BW 1132, in which the responsibility to private property, and in addition can also be through the criminal. How?

Minggu, 10 Mei 2009

PERJANJIAN KERJA BERSAMA dapat dimasukkan dalam CSR ????

Sesuai dengan aturan dalam Peraturan Ketenagakerjaan, bahwa dalam suatu perusahaan yang mempekerjakan minimal 10 orang pekerja WAJIB untuk membuat Peraturan Perusahaan (PP), yang mana peraturan ini harus didaftarkan di Dinas Ketenagakerjaan setempat. Disini penulis tidak membicarakan masalah PP ini, dikarenakan dalam prakteknya, PP seringkali hanya "copy paste" dari perusahaan lain. Memang hal tersebut diperbolehkan asalkan tidak bertentangan dengan UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Nah yang menjadi permasalahan, bagaimana jika pekerja meminta untuk "menaikkan" tingkatan menjadi Perjanjian Kerja Bersama (PKB)?

Memang sudah menjadi kewajiban untuk pengusaha ikut dalam pembuatan PKB ini. Seringkali PKB dijadikan alat untuk mengungkapkan keperihatinan pekerja. Kenaikan welfare merupakan tujuan dari PKB. Mereka lupa bahwa ini merupakan sebuah aturan. Bukan untuk alat sebagai kenaikan welfare yang selama itu tidak di-iya-kan oleh Pengusaha. Peraturan pun dikesampingakan, sehingga seringkali pengusaha dirugikan. Dalam penegakkan hukum terhadap peraturan maupun karyawan sering dipersulit oleh Serikat Pekerja itu sendiri. Hal inilah yang menjadi dampak negative, sehingga banyak sekali pengusaha yang merasa risih terhadap kehadiran Serikat Pekerja. Para petinggi dari serikat pekerja itu di mutasi, atau bahkan dalam jenjang karirnya dihentikan.

Salah siapakah hal itu? Coba dipikirkan jika Serikat Pekerja mau bekerja sama dengan Pengusaha dalah hal penegakkan hokum karyawan, ikut membantu pengusaha untuk memberikan sanksi-sanksi tegas terhadap pekerja, dan lain sebagainya. Bukankah nantinya welfare tersebut akan dipertimbangkan juga oleh Pengusaha? Selain itu, dalm peraturan yang mengatur mengenai PP dan PKB berupa Kepmen, tidak dijelaskan langkah-langkah bagaimana jika suatu PKB berubah menjadi PP? apakah merupakan suatu penurunan dari suatu peraturan dalam perusahaan? Atau memang, pemerintah mencoba untuk mengemukakan pendapatnya, bahwa PKB tidak boleh menjadi PP kembali? Hal ini dapat mempengaruhi usaha dari perusahaan yang mana telah sulit sekali memberikan keadaan kondusif dalam perusahaan, sehingga berakibat semakin menurunnya usaha perusahaan tersebut. Salah satu cara untuk mengantisipasi hal itu, penulis menemukan ide…….yaitu memasukkan PKB dalam Corporate Social Responsibility (CSR) yang dielu-elukan untuk menarik perhatian konsumen. Bagus bukan? Sehingga kepercayaan karyawan terhadap perusahaan semakin besar….

Senin, 02 Maret 2009

"Pengacara" dalam Upaya Perlindungan Konsumen

Posting selanjutnya berbicara mengenai perlindungan konsumen yang sangat sulit untuk ditegakkan, namun saat ini, sedang dilakukan upaya-upayanya oleh berbagai pihak. Salah satunya Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) yang merupakan “titisan” dari Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Salah satu jalan terobosan baru oleh pembuat undang-undang untuk menjembatani konsumen yang “merasa” dirugikan, dalam upaya untuk mengambil kembali haknya. Mengapa Penulis mengatakan disini adalah konsumen yang hanya “merasa” dirugikan? Karena belum tentu konsumen yang dirugikan ingin menuntut haknya kembali, dan memiliki keinginan keras mengembalikan nama baik konsumen sebagai raja, dalam hal mengkonsumsi barang maupun jasa.
Menurut Pasal 44 UUPK tersebut, dijelaskan adanya LPKSM memiliki tugas-tugas antara lain:
1. Menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehatihatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2. Memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;
3. Bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen;
4. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan atau pengaduan konsumen;
5. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungan konsumen.

Setelah pembaca melihat tugas dari LPKSM diatas, maka dapat disimpulkan bahwa LPKSM merupakan “Pengacara” bagi konsumen yang merasa dirugikan. Penulis pribadi menganggap bahwa pengacara ini sebenarnya bukan tugas utamanya. Hal ini diperkuat kembali di pasal 7 Peraturan Pemerintah No. 59 tahun 2001 tentang LPKSM ini. Di dalam pasal 7 itu disebutkan bahwa
"Dalam membantu konsumen untuk memperjuangkan haknya, LPKSM dapat melakukan advokasi atau pemberdayaan konsumen agar mampu memperjuangkan haknya secara mandiri, baik secara perorangan maupun kelompok"

Yang perlu digaris bawahi adalah LPKSM tidak SEHARUSNYA langsung berhadapan dengan Pelaku Usaha, pada awalnya, sehingga berakibat konsumen tidak tahu, langkah-langakah yang akan dihadapi untuk menegakkan haknya, melainkan ikut mendampingi, agar nantinya konsumen tersebut menjadi mandiri. Namun, kita harus memberikan semangat kepada LPKSM ini, semoga konsumen INDONESIA MENJADI MANDIRI !!!

http://digilib.pnri.go.id/uploaded_files/k002/normal/PP_No_59_2001_Lembaga_Perlindungan_konsumen.pdf

Jumat, 27 Februari 2009

“Beladiri” Anti wanprestasi

Pembaca mungkin sudah pernah mendengar mengenai istilah wanprestasi, atau sering orang mengatakan dengan ingkar janji. Yang mana artinya adalah, salah satu pihak lalai dalam melaksanakan isi dari suatu perjanjian. Saya tidak mengatakan debitur lalai, karena hal ini juga berhubungan dengan teori anti wanprestasi ini yang menurut saya dapat digunakan oleh debitur maupun kreditur. Pembelaan yang kita lakukan jika dituduh lalai ada 3 (tiga) langkah, yaitu:
1. Mengajukan alasan karena adanya keadaan terpaksa/keadaan kahar/overmacht/force majeure
2. Mengajukan bahwa pihak lain sendiri juga telah lalai. (exeptio non adimpleti contractus)
3. Mengajukan alasan bahwa pihak lain juga telah melepaskan haknya untuk menuntut

Penulis katakan “pihak lain” karena berpikiran bahwa ada banyak jenis perjanjian, mulai dari hutang piutang. Sewa-menyewa, jual-beli, dan masih banyak lagi. Namun, dalam kenyataannya, memang yang sering melakukan wanprestasi itu adalah pihak debitur. Jadi jurus ampuh diatas, lebih banyak digunakan oleh debitur. Oke, penulis akan bahas satu persatu dengan singkat dan tepat, supaya pembaca tidak cepat bosan.
Mengenai yang point 1 (satu), dimana debitur mengajukan alasan akan adanya keadaan kahar (force majeure). Memang, keadaan kahar ini sangat sulit bahkan tidak dapat diketahui kapan terjadinya, karena merupakan kejadian alam, dan kekuasaan tuhan, disamping itu ada juga yang memasukkan kebijakan pemerintah sebagai keadaan kahar ini. Jika debitur dapat membuktikan bahwa telah terjadi keadaan ini, sehingga dia tidak dapat memenuhi dan melaksanakan perjanjian tersebut, maka akan merujuk kembali mengenai ketentuan pasal dalam perjanjian yang telah disetujui mengenai pasal force majeure. Jadi, ketentuan tersebutlah yang berlaku, berikut resiko yang ada.
Untuk point 2 (dua), debitur mengajukan alasan bahwa kreditur sendiri telah lalai untuk melaksanakan perjanjian, dapat dijelaskan dengan ilustrasi pribadi sebagai berikut: Misalnya si A dan B mengadakan perjanjian jual beli, yang mana pada pokoknya si A membeli kursi milik si B, dan pembayaran akan diberikan pada saat kursi tersebut telah diantarkan si B sampai kerumah. Jadi pembayaran seketika dan lunas, berada di tempat A. Kasusnya adalah, begitu si A telah menunjuk dan memesan kursi, si B datang dengan “tangan hampa”, lalu menagih pembayaran. Dalam hal ini, si A tidak wajib membayar, karena si B sendiri telah lalai untuk mengantarkan kursi tersebut. Bagaimana sudah jelas?
Untuk point 3 (tiga), akan saya jelaskan tetap sama dengan contoh jual beli diatas. Namun, dilihat dari sisi si B. Dalam hal si A telah menunjuk barang tersebut sendiri, lalu menyuruh si B untuk mengantarkan, maka si B memiliki kewajiban untuk itu. Setelah barang tersebut diantarkan dan dibayar, kemudian si A langsung memakai barang tersebut. Menurut si B, barang tersebut memiliki cacad. Ternyata sampai lama, tidak ada klaim dari si A. Maka jika suatu saat si B di klaim wanprestasi, karena memberikan barang yang cacad, dianggap si A telah melepaskan hak untuk menuntut. Hal ini dikarenakan tidak sesegera mungkin si A mengembalikan barang tersebut.

Rabu, 25 Februari 2009

CSR perusahaan sebagai “kail pancing” konsumen

Corporate Social Responsibility (CSR), pada intinya merupakan kepekaaan suatu perusahaan untuk melihat keadaan sekelilingnya, baik masyarakat, ataupun lingkungannya. Sebelum berlakunya Undang-Undang Perseroan Terbatas yang baru, yaitu Undang-Undang No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, CSR tidak diatur sama sekali. Lalu, apakah memang perlu dan penting adanya pengaturan CSR? Saya memiliki pendapat pribadi, hal tersebut tidaklah penting, dengan alasan, kita harus bisa melihat terlebih dahulu apakah CSR yang telah dilakukan oleh Perusahaan-Perusahaan memang memiliki dampak yang significant terhadap keadaan lingkungan disekitarnya.
Beberapa iklan televisi maupun iklan di media cetak dan elektronik lainnya, sudah mulai memperlihatkan kegiatan-kegiatan CSR beberapa perusahaan untuk mencuri perhatian konsumen. Mereka saling berebut untuk mendapatkan perhatian lebih. Mulai dari iklan bantuan atau sumbangan kepada masyarakat yang terkena bencana, bantuan di daerah yang kekurangan air, hingga kegiatan penghijauan hutan. Padahal, dana yang dianggarkan dari masing-masing perusahaaan sangat besar. Namun itu hanya sesaat, sampai produk barang maupun jasa mereka kembali laku di masyarakat. Setelah mereka mendapatkan kembali image konsumen, perlahan-lahan mereka akan mundur untuk melakukan kegiatan CSR. Lihat saja, perusahaan yang mengiklankan CSR, sebagian dari mereka adalah perusahaan yang mulai kalah bersaing dengan kompetitornya.
Berikut akan penulis paparkan mengenai isi dari pasal 74 UU No.40 tahun 2007 tentang tanggungjawab sosial dan lingkungan

Pasal 74
(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau
berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan.
(2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan
diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya
dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Jika kita melihat ayat dua dari isi pasal 74 tersebut, maka anggaran mengenai CSR haruslah berdasarkan atas kepatutan dan kewajaran. Sampai manakh yang dianggap patut? Sampai manakah yang dianggap wajar? UU ini tidak menjelaskan lebih rinci mengenai hal ini. Jika perusahaan-perusahaan yang melakukan CSR tersebut “berani” untuk membuka ke forum umum, mengenai anggaran CSR mereka, maka kita akan temukan angka-angka yang cukup besar dibandingkan biaya pelaksanaan CSR untuk lingkungan dan masyarakat tersebut. Lalu, manakah prosentase yang lainnya? Iyah, benar sekali, ada pada cost promosi produk pada saat melakukan CSR, sehingga dapat menarik perhatian konsumen untuk memakai produk dan jasanya. Terus meneruskah mereka tetap melakukan CSR, hingga nanti, sesuai dengan jangka waktu berdirinya perusahaan yang tercantum dalam anggaran dasarnya? Tidak dapat dijawab dan dipastikan hal itu. Jika perusahaan pada suatu tahun fiscal mengalami penurunan laba, atau kerugian, maka CSR juga ikut “dipangkas”. Namun, jika mengalami kenaikan laba, apakah anggaran CSR juga iktu dinaikkan? Buktinya, ada berapa perusahaan di Indonesia baik PMA maupun perusahaan swasta negeri? Jika mereka melakukan CSR dengan baik, maka Negara kita juga akan semakin baik perekonomian dan kehidupannya. Konsumen masih dapat dianggap sebagai ikan yang mudah untuk dipancing.

Selasa, 24 Februari 2009

Mengenyampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH. Perdata, perlu tidak?

Seringkali di akhir suatu perjanjian, kita membaca bahwa perjanjian tersebut mengenyampingkan pasal 1266 dan 1267 KUH. Perdata. Lalu apa sih pasal itu? Oke, untuk membantu para pembaca mulai dari awal, saya akan mencoba menjelaskan dengan rinci.
Pasal ini terdapat dalam BAB III KUH. Perdata tentang perikatan, dimana masuk dalam bagian kelima, mengenai Perikatan Bersyarat. Seperti yang sudah saya jelaskan pada posting sebelumnya, bahwa buku III ini memiliki sifat mengatur, tidak memaksa. Oke, saya mulai dari pasal 1266 dulu yach……! Bunyi pasal 1266 KUH Perdata adalah sebagai berikut:

“Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal balik manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.
Dalam hal yang demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalannya harus dimintakan kepada hakim
Permintaan ini juga harus dilakukan meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya perjanjian dinyatakan dalam perjanjian
Jika syarat batal tidak dimintakan dalam perjanjian, Hakim adalah leluasa untuk menurut keadaan atas permintaan si tergugat memberikan jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun tidak boleh lebih dari satu bulan”

Setelah membaca bunyi pasal tersebut, maka lebih jelas dan “gamblang” dikatakan bahwa pembatalan perjanjian tidak boleh dibatalkan secara sepihak, namun dimintakan pembatalan ke pengadilan. Bagaimana bisa, dengan keadaan bangsa yang sekarang ini, hanya pembatalan perjanjian saja meminta ke pengadilan, tentu biaya, waktu serta tenaga yang dibutuhkan sangat besar. Sulit sekali bukan? Apalagi jika ayat 4 tersebut telah dijatuhkan oleh hakim, namun tergugat setelah satu bulan tetap tidak bisa memenuhinya. Lagi-Lagi kita harus menggugat untuk wanprestasi atau ingkar janji. Jadi, mengenyampingkan pasal ini, dan mencantumkan di perjanjian sangatlah penting.

Lalu bagaimana dengan pasal 1267 KUH. Perdata? Apakah kita perlu mengenaympingkan pasal ini dan mencantumkan dalam perjanjian? Apakah pasal ini perlu? Inilah yang membuat saya bingung dikarenakan banyak sekali para sarjana hukum yang juga mengenyampingkan pasal ini dalam perjanjiannya. Oke, untuk memperjelasnya kita lihat dulu bunyi pasalnya.

“Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memasa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian ataukah akan menuntut pembatalan perjanjian disertai penggantian biaya, kerugian, dan bunga,”

Saya rasa bunyi pasal ini telah jelas. Lalu mengapa pasal ini juga ikut dikesampingkan? Dan tidak digunakan? Padahal pihak yang merasa dirugikan karena tidak terpenuhinya perikatan dapat meminta:
1. Pemenuhan perjanjian
2. Pembatalan perjanjian
3. Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi dan/atau bunga
4. Pembatalan perjanjian disertai gantirugi dam/atau bunga

Hal ini yang dapat digunakan untuk pihak yang dirugikan dalam hal somasi, yaitu pihak yang dirugikan akan memberikan tenggang waktu kepada pihak lain (merugikan) untuk segera mengganti atau tetap memenuhi isi perjanjian itu dalam jangka waktu tertentu. Dan ini dapat dimintakan ke pengadilan tentang empat pilihan diatas, jika lewat jangka waktu tersebut tetap tidak dapat dipenuhi permintaannya. Jika hanya menginginkan untuk tidak perlu memintakan pembatalan perjanjian lewat pengadilan, saya rasa cukup mengenayampingkan pasal 1266 KUH. Perdata saja, dan tidak perlu Pasal 1267 KUH. Perdata, juga ikut dikesampingkan dan dicantuman dalam perjanjian. Setelah membaca opini dari tulisan saya ini, apakah pasal ini sangat perlu atau tidak? Silahkan direnungkan.

Senin, 23 Februari 2009

Perjanjian/Kontrak Merupakan Hukum Paling "Membahayakan"

Tulisan ini merupakan posting pertama saya, dimana setelah saya bekerja dan memperoleh sedikit pengalaman, maka saya akan mencoba membagikan tips untuk pembaca yang berhubungan dengan hukum. Perjanjian merupakan hukum yang paling “membahayakan”. Jangan kaget membaca judul ini. Karena, setelah saya belajar banyak dan sambil bekerja, saya dapat mengatakan hal ini. Dalam Hukum Indonesia, Perjanjian/Kontrak berdasar hukum pada BUKU III KUH. Perdata. Namun saya tidak akan memperinci lebih lanjut mengenai Buku III KUH. Perdata ini. Mungkin di lain tulisan akan saya lanjutkan.
Buku III tentang perikatan dalam KUH. Perdata, dapat dikesampingkan dalam hal pengaturan isi dari perjanjian. Ini merupakan sifat dari BUKU III tersebut, dimana pembuat Undang-Undang ini percaya bahwa manusia akan semakin berkembang untuk membuat dan mengikatkan diri dengan pihak lain, sehingga tidak mungkin peraturan yang benar-benar mengatur hal tersebut.
Jadi, mana yang lebih utama? Perjanjian yang akan kita buat ataukah Buku III KUH. Perdata itu sendiri? Saya akan menjawabnya : Yang paling penting adalah Buku III KUH. Perdata. Alasan saya, jika kita telah mengerti isi dari Buku III KUH. Perdata, maka secara mudah kita dapat mengatur hal-hal yang kita inginkan untuk dimasukkan dalam perjanjian/kontrak dengan pihak kedua. Termasuk juga mengenai pasal-pasal dalam BUKU III yang tidak dapat kita masukkan dalam draft perjanjian dikarenakan dapat membuat ketidakseimbangan antara para pihak. Apalagi, dalam pasal 1338 KUH Perdata mengatakan:

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi mereka yang membuatnya”
“Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak , atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan untuk itu”
“Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”

Bukankah bunyi pasal itu berbahaya?

Jangan lupa, dalam membuat perjanjian, janganlah merasa kita harus diatas kedudukannya, maka tidak akan berhasil dalam bekerjasama dengan Pihak Lain.(salah satu tips juga dari saya).
Berikut ini, akan saya paparkan mengenai isi yang seyogyanya ada pada perjanjian-perjanjian tertentu. Saya katakan seyogyanya, karena boleh untuk mengganti urutan, atau manambah isi dari perjanjian yang saya paparkan, namun minimal harus ada hal-hal yang akan saya sebutkan di dibawah ini. Perjanjian yang akan saya sebutkan merupakan perjanjian yang sering digunakan sehari-hari. Semoga bermanfaat.

1. Perjanjian Sewa Menyewa: Obyek sewa menyewa; Peruntukkan sewa; Jangka waktu sewa; Penyerahan obyek sewa; Harga sewa; Hak dan Kewajiban para pihak; Larangan perubahan obyek sewa tanpa ijin; Pembebanan ongkos perbaikan; Pengembalian obyek sewa; Hak utama penyewa jika dipindahtangankan; Larangan memindahkan sewa kepada pihak lain selama jangka waktu perjanjian; Keadaan Kahar (Force majeure); Penyelesaian Perselisihan; dan ketentuan lain-lain
2. Perjanjian Jual Beli: Obyek jual beli; Harga jual beli serta system pembayaran; Penyerahan objek jual beli; Hak dan Kewajiban para pihak; Jaminan Penjual terhadap obyek perjanjian; Force majeure; Penyelesaian perselisihan; dan ketentuan lain-lain.
3. Perjanjian Pemborongan: Obyek perjanjian; Harga borongan; pelaksanaan pekerjaan borongan; Tenaga kerja dan pelepasan tanggungjawabnya; tanggung jawab pemborong; Alat dan bahan; Larangan untuk menyerahkan kepada pihak lain kecuali dengan izin; Hak dan kewajiban para pihak; Penyelesaian perselisihan; dan ketentuan lain-lain

My Friends...