Jumat, 27 Februari 2009

“Beladiri” Anti wanprestasi

Pembaca mungkin sudah pernah mendengar mengenai istilah wanprestasi, atau sering orang mengatakan dengan ingkar janji. Yang mana artinya adalah, salah satu pihak lalai dalam melaksanakan isi dari suatu perjanjian. Saya tidak mengatakan debitur lalai, karena hal ini juga berhubungan dengan teori anti wanprestasi ini yang menurut saya dapat digunakan oleh debitur maupun kreditur. Pembelaan yang kita lakukan jika dituduh lalai ada 3 (tiga) langkah, yaitu:
1. Mengajukan alasan karena adanya keadaan terpaksa/keadaan kahar/overmacht/force majeure
2. Mengajukan bahwa pihak lain sendiri juga telah lalai. (exeptio non adimpleti contractus)
3. Mengajukan alasan bahwa pihak lain juga telah melepaskan haknya untuk menuntut

Penulis katakan “pihak lain” karena berpikiran bahwa ada banyak jenis perjanjian, mulai dari hutang piutang. Sewa-menyewa, jual-beli, dan masih banyak lagi. Namun, dalam kenyataannya, memang yang sering melakukan wanprestasi itu adalah pihak debitur. Jadi jurus ampuh diatas, lebih banyak digunakan oleh debitur. Oke, penulis akan bahas satu persatu dengan singkat dan tepat, supaya pembaca tidak cepat bosan.
Mengenai yang point 1 (satu), dimana debitur mengajukan alasan akan adanya keadaan kahar (force majeure). Memang, keadaan kahar ini sangat sulit bahkan tidak dapat diketahui kapan terjadinya, karena merupakan kejadian alam, dan kekuasaan tuhan, disamping itu ada juga yang memasukkan kebijakan pemerintah sebagai keadaan kahar ini. Jika debitur dapat membuktikan bahwa telah terjadi keadaan ini, sehingga dia tidak dapat memenuhi dan melaksanakan perjanjian tersebut, maka akan merujuk kembali mengenai ketentuan pasal dalam perjanjian yang telah disetujui mengenai pasal force majeure. Jadi, ketentuan tersebutlah yang berlaku, berikut resiko yang ada.
Untuk point 2 (dua), debitur mengajukan alasan bahwa kreditur sendiri telah lalai untuk melaksanakan perjanjian, dapat dijelaskan dengan ilustrasi pribadi sebagai berikut: Misalnya si A dan B mengadakan perjanjian jual beli, yang mana pada pokoknya si A membeli kursi milik si B, dan pembayaran akan diberikan pada saat kursi tersebut telah diantarkan si B sampai kerumah. Jadi pembayaran seketika dan lunas, berada di tempat A. Kasusnya adalah, begitu si A telah menunjuk dan memesan kursi, si B datang dengan “tangan hampa”, lalu menagih pembayaran. Dalam hal ini, si A tidak wajib membayar, karena si B sendiri telah lalai untuk mengantarkan kursi tersebut. Bagaimana sudah jelas?
Untuk point 3 (tiga), akan saya jelaskan tetap sama dengan contoh jual beli diatas. Namun, dilihat dari sisi si B. Dalam hal si A telah menunjuk barang tersebut sendiri, lalu menyuruh si B untuk mengantarkan, maka si B memiliki kewajiban untuk itu. Setelah barang tersebut diantarkan dan dibayar, kemudian si A langsung memakai barang tersebut. Menurut si B, barang tersebut memiliki cacad. Ternyata sampai lama, tidak ada klaim dari si A. Maka jika suatu saat si B di klaim wanprestasi, karena memberikan barang yang cacad, dianggap si A telah melepaskan hak untuk menuntut. Hal ini dikarenakan tidak sesegera mungkin si A mengembalikan barang tersebut.

Rabu, 25 Februari 2009

CSR perusahaan sebagai “kail pancing” konsumen

Corporate Social Responsibility (CSR), pada intinya merupakan kepekaaan suatu perusahaan untuk melihat keadaan sekelilingnya, baik masyarakat, ataupun lingkungannya. Sebelum berlakunya Undang-Undang Perseroan Terbatas yang baru, yaitu Undang-Undang No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, CSR tidak diatur sama sekali. Lalu, apakah memang perlu dan penting adanya pengaturan CSR? Saya memiliki pendapat pribadi, hal tersebut tidaklah penting, dengan alasan, kita harus bisa melihat terlebih dahulu apakah CSR yang telah dilakukan oleh Perusahaan-Perusahaan memang memiliki dampak yang significant terhadap keadaan lingkungan disekitarnya.
Beberapa iklan televisi maupun iklan di media cetak dan elektronik lainnya, sudah mulai memperlihatkan kegiatan-kegiatan CSR beberapa perusahaan untuk mencuri perhatian konsumen. Mereka saling berebut untuk mendapatkan perhatian lebih. Mulai dari iklan bantuan atau sumbangan kepada masyarakat yang terkena bencana, bantuan di daerah yang kekurangan air, hingga kegiatan penghijauan hutan. Padahal, dana yang dianggarkan dari masing-masing perusahaaan sangat besar. Namun itu hanya sesaat, sampai produk barang maupun jasa mereka kembali laku di masyarakat. Setelah mereka mendapatkan kembali image konsumen, perlahan-lahan mereka akan mundur untuk melakukan kegiatan CSR. Lihat saja, perusahaan yang mengiklankan CSR, sebagian dari mereka adalah perusahaan yang mulai kalah bersaing dengan kompetitornya.
Berikut akan penulis paparkan mengenai isi dari pasal 74 UU No.40 tahun 2007 tentang tanggungjawab sosial dan lingkungan

Pasal 74
(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau
berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan.
(2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan
diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya
dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Jika kita melihat ayat dua dari isi pasal 74 tersebut, maka anggaran mengenai CSR haruslah berdasarkan atas kepatutan dan kewajaran. Sampai manakh yang dianggap patut? Sampai manakah yang dianggap wajar? UU ini tidak menjelaskan lebih rinci mengenai hal ini. Jika perusahaan-perusahaan yang melakukan CSR tersebut “berani” untuk membuka ke forum umum, mengenai anggaran CSR mereka, maka kita akan temukan angka-angka yang cukup besar dibandingkan biaya pelaksanaan CSR untuk lingkungan dan masyarakat tersebut. Lalu, manakah prosentase yang lainnya? Iyah, benar sekali, ada pada cost promosi produk pada saat melakukan CSR, sehingga dapat menarik perhatian konsumen untuk memakai produk dan jasanya. Terus meneruskah mereka tetap melakukan CSR, hingga nanti, sesuai dengan jangka waktu berdirinya perusahaan yang tercantum dalam anggaran dasarnya? Tidak dapat dijawab dan dipastikan hal itu. Jika perusahaan pada suatu tahun fiscal mengalami penurunan laba, atau kerugian, maka CSR juga ikut “dipangkas”. Namun, jika mengalami kenaikan laba, apakah anggaran CSR juga iktu dinaikkan? Buktinya, ada berapa perusahaan di Indonesia baik PMA maupun perusahaan swasta negeri? Jika mereka melakukan CSR dengan baik, maka Negara kita juga akan semakin baik perekonomian dan kehidupannya. Konsumen masih dapat dianggap sebagai ikan yang mudah untuk dipancing.

Selasa, 24 Februari 2009

Mengenyampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH. Perdata, perlu tidak?

Seringkali di akhir suatu perjanjian, kita membaca bahwa perjanjian tersebut mengenyampingkan pasal 1266 dan 1267 KUH. Perdata. Lalu apa sih pasal itu? Oke, untuk membantu para pembaca mulai dari awal, saya akan mencoba menjelaskan dengan rinci.
Pasal ini terdapat dalam BAB III KUH. Perdata tentang perikatan, dimana masuk dalam bagian kelima, mengenai Perikatan Bersyarat. Seperti yang sudah saya jelaskan pada posting sebelumnya, bahwa buku III ini memiliki sifat mengatur, tidak memaksa. Oke, saya mulai dari pasal 1266 dulu yach……! Bunyi pasal 1266 KUH Perdata adalah sebagai berikut:

“Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal balik manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.
Dalam hal yang demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalannya harus dimintakan kepada hakim
Permintaan ini juga harus dilakukan meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya perjanjian dinyatakan dalam perjanjian
Jika syarat batal tidak dimintakan dalam perjanjian, Hakim adalah leluasa untuk menurut keadaan atas permintaan si tergugat memberikan jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun tidak boleh lebih dari satu bulan”

Setelah membaca bunyi pasal tersebut, maka lebih jelas dan “gamblang” dikatakan bahwa pembatalan perjanjian tidak boleh dibatalkan secara sepihak, namun dimintakan pembatalan ke pengadilan. Bagaimana bisa, dengan keadaan bangsa yang sekarang ini, hanya pembatalan perjanjian saja meminta ke pengadilan, tentu biaya, waktu serta tenaga yang dibutuhkan sangat besar. Sulit sekali bukan? Apalagi jika ayat 4 tersebut telah dijatuhkan oleh hakim, namun tergugat setelah satu bulan tetap tidak bisa memenuhinya. Lagi-Lagi kita harus menggugat untuk wanprestasi atau ingkar janji. Jadi, mengenyampingkan pasal ini, dan mencantumkan di perjanjian sangatlah penting.

Lalu bagaimana dengan pasal 1267 KUH. Perdata? Apakah kita perlu mengenaympingkan pasal ini dan mencantumkan dalam perjanjian? Apakah pasal ini perlu? Inilah yang membuat saya bingung dikarenakan banyak sekali para sarjana hukum yang juga mengenyampingkan pasal ini dalam perjanjiannya. Oke, untuk memperjelasnya kita lihat dulu bunyi pasalnya.

“Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memasa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian ataukah akan menuntut pembatalan perjanjian disertai penggantian biaya, kerugian, dan bunga,”

Saya rasa bunyi pasal ini telah jelas. Lalu mengapa pasal ini juga ikut dikesampingkan? Dan tidak digunakan? Padahal pihak yang merasa dirugikan karena tidak terpenuhinya perikatan dapat meminta:
1. Pemenuhan perjanjian
2. Pembatalan perjanjian
3. Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi dan/atau bunga
4. Pembatalan perjanjian disertai gantirugi dam/atau bunga

Hal ini yang dapat digunakan untuk pihak yang dirugikan dalam hal somasi, yaitu pihak yang dirugikan akan memberikan tenggang waktu kepada pihak lain (merugikan) untuk segera mengganti atau tetap memenuhi isi perjanjian itu dalam jangka waktu tertentu. Dan ini dapat dimintakan ke pengadilan tentang empat pilihan diatas, jika lewat jangka waktu tersebut tetap tidak dapat dipenuhi permintaannya. Jika hanya menginginkan untuk tidak perlu memintakan pembatalan perjanjian lewat pengadilan, saya rasa cukup mengenayampingkan pasal 1266 KUH. Perdata saja, dan tidak perlu Pasal 1267 KUH. Perdata, juga ikut dikesampingkan dan dicantuman dalam perjanjian. Setelah membaca opini dari tulisan saya ini, apakah pasal ini sangat perlu atau tidak? Silahkan direnungkan.

Senin, 23 Februari 2009

Perjanjian/Kontrak Merupakan Hukum Paling "Membahayakan"

Tulisan ini merupakan posting pertama saya, dimana setelah saya bekerja dan memperoleh sedikit pengalaman, maka saya akan mencoba membagikan tips untuk pembaca yang berhubungan dengan hukum. Perjanjian merupakan hukum yang paling “membahayakan”. Jangan kaget membaca judul ini. Karena, setelah saya belajar banyak dan sambil bekerja, saya dapat mengatakan hal ini. Dalam Hukum Indonesia, Perjanjian/Kontrak berdasar hukum pada BUKU III KUH. Perdata. Namun saya tidak akan memperinci lebih lanjut mengenai Buku III KUH. Perdata ini. Mungkin di lain tulisan akan saya lanjutkan.
Buku III tentang perikatan dalam KUH. Perdata, dapat dikesampingkan dalam hal pengaturan isi dari perjanjian. Ini merupakan sifat dari BUKU III tersebut, dimana pembuat Undang-Undang ini percaya bahwa manusia akan semakin berkembang untuk membuat dan mengikatkan diri dengan pihak lain, sehingga tidak mungkin peraturan yang benar-benar mengatur hal tersebut.
Jadi, mana yang lebih utama? Perjanjian yang akan kita buat ataukah Buku III KUH. Perdata itu sendiri? Saya akan menjawabnya : Yang paling penting adalah Buku III KUH. Perdata. Alasan saya, jika kita telah mengerti isi dari Buku III KUH. Perdata, maka secara mudah kita dapat mengatur hal-hal yang kita inginkan untuk dimasukkan dalam perjanjian/kontrak dengan pihak kedua. Termasuk juga mengenai pasal-pasal dalam BUKU III yang tidak dapat kita masukkan dalam draft perjanjian dikarenakan dapat membuat ketidakseimbangan antara para pihak. Apalagi, dalam pasal 1338 KUH Perdata mengatakan:

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi mereka yang membuatnya”
“Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak , atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan untuk itu”
“Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik”

Bukankah bunyi pasal itu berbahaya?

Jangan lupa, dalam membuat perjanjian, janganlah merasa kita harus diatas kedudukannya, maka tidak akan berhasil dalam bekerjasama dengan Pihak Lain.(salah satu tips juga dari saya).
Berikut ini, akan saya paparkan mengenai isi yang seyogyanya ada pada perjanjian-perjanjian tertentu. Saya katakan seyogyanya, karena boleh untuk mengganti urutan, atau manambah isi dari perjanjian yang saya paparkan, namun minimal harus ada hal-hal yang akan saya sebutkan di dibawah ini. Perjanjian yang akan saya sebutkan merupakan perjanjian yang sering digunakan sehari-hari. Semoga bermanfaat.

1. Perjanjian Sewa Menyewa: Obyek sewa menyewa; Peruntukkan sewa; Jangka waktu sewa; Penyerahan obyek sewa; Harga sewa; Hak dan Kewajiban para pihak; Larangan perubahan obyek sewa tanpa ijin; Pembebanan ongkos perbaikan; Pengembalian obyek sewa; Hak utama penyewa jika dipindahtangankan; Larangan memindahkan sewa kepada pihak lain selama jangka waktu perjanjian; Keadaan Kahar (Force majeure); Penyelesaian Perselisihan; dan ketentuan lain-lain
2. Perjanjian Jual Beli: Obyek jual beli; Harga jual beli serta system pembayaran; Penyerahan objek jual beli; Hak dan Kewajiban para pihak; Jaminan Penjual terhadap obyek perjanjian; Force majeure; Penyelesaian perselisihan; dan ketentuan lain-lain.
3. Perjanjian Pemborongan: Obyek perjanjian; Harga borongan; pelaksanaan pekerjaan borongan; Tenaga kerja dan pelepasan tanggungjawabnya; tanggung jawab pemborong; Alat dan bahan; Larangan untuk menyerahkan kepada pihak lain kecuali dengan izin; Hak dan kewajiban para pihak; Penyelesaian perselisihan; dan ketentuan lain-lain

My Friends...