Rabu, 25 Februari 2009

CSR perusahaan sebagai “kail pancing” konsumen

Corporate Social Responsibility (CSR), pada intinya merupakan kepekaaan suatu perusahaan untuk melihat keadaan sekelilingnya, baik masyarakat, ataupun lingkungannya. Sebelum berlakunya Undang-Undang Perseroan Terbatas yang baru, yaitu Undang-Undang No.40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, CSR tidak diatur sama sekali. Lalu, apakah memang perlu dan penting adanya pengaturan CSR? Saya memiliki pendapat pribadi, hal tersebut tidaklah penting, dengan alasan, kita harus bisa melihat terlebih dahulu apakah CSR yang telah dilakukan oleh Perusahaan-Perusahaan memang memiliki dampak yang significant terhadap keadaan lingkungan disekitarnya.
Beberapa iklan televisi maupun iklan di media cetak dan elektronik lainnya, sudah mulai memperlihatkan kegiatan-kegiatan CSR beberapa perusahaan untuk mencuri perhatian konsumen. Mereka saling berebut untuk mendapatkan perhatian lebih. Mulai dari iklan bantuan atau sumbangan kepada masyarakat yang terkena bencana, bantuan di daerah yang kekurangan air, hingga kegiatan penghijauan hutan. Padahal, dana yang dianggarkan dari masing-masing perusahaaan sangat besar. Namun itu hanya sesaat, sampai produk barang maupun jasa mereka kembali laku di masyarakat. Setelah mereka mendapatkan kembali image konsumen, perlahan-lahan mereka akan mundur untuk melakukan kegiatan CSR. Lihat saja, perusahaan yang mengiklankan CSR, sebagian dari mereka adalah perusahaan yang mulai kalah bersaing dengan kompetitornya.
Berikut akan penulis paparkan mengenai isi dari pasal 74 UU No.40 tahun 2007 tentang tanggungjawab sosial dan lingkungan

Pasal 74
(1) Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan/atau
berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan Tanggung
Jawab Sosial dan Lingkungan.
(2) Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan kewajiban Perseroan yang dianggarkan dan
diperhitungkan sebagai biaya Perseroan yang pelaksanaannya
dilakukan dengan memperhatikan kepatutan dan kewajaran.
(3) Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai Tanggung Jawab Sosial dan
Lingkungan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Jika kita melihat ayat dua dari isi pasal 74 tersebut, maka anggaran mengenai CSR haruslah berdasarkan atas kepatutan dan kewajaran. Sampai manakh yang dianggap patut? Sampai manakah yang dianggap wajar? UU ini tidak menjelaskan lebih rinci mengenai hal ini. Jika perusahaan-perusahaan yang melakukan CSR tersebut “berani” untuk membuka ke forum umum, mengenai anggaran CSR mereka, maka kita akan temukan angka-angka yang cukup besar dibandingkan biaya pelaksanaan CSR untuk lingkungan dan masyarakat tersebut. Lalu, manakah prosentase yang lainnya? Iyah, benar sekali, ada pada cost promosi produk pada saat melakukan CSR, sehingga dapat menarik perhatian konsumen untuk memakai produk dan jasanya. Terus meneruskah mereka tetap melakukan CSR, hingga nanti, sesuai dengan jangka waktu berdirinya perusahaan yang tercantum dalam anggaran dasarnya? Tidak dapat dijawab dan dipastikan hal itu. Jika perusahaan pada suatu tahun fiscal mengalami penurunan laba, atau kerugian, maka CSR juga ikut “dipangkas”. Namun, jika mengalami kenaikan laba, apakah anggaran CSR juga iktu dinaikkan? Buktinya, ada berapa perusahaan di Indonesia baik PMA maupun perusahaan swasta negeri? Jika mereka melakukan CSR dengan baik, maka Negara kita juga akan semakin baik perekonomian dan kehidupannya. Konsumen masih dapat dianggap sebagai ikan yang mudah untuk dipancing.

Tidak ada komentar:

My Friends...