Selasa, 24 Februari 2009

Mengenyampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH. Perdata, perlu tidak?

Seringkali di akhir suatu perjanjian, kita membaca bahwa perjanjian tersebut mengenyampingkan pasal 1266 dan 1267 KUH. Perdata. Lalu apa sih pasal itu? Oke, untuk membantu para pembaca mulai dari awal, saya akan mencoba menjelaskan dengan rinci.
Pasal ini terdapat dalam BAB III KUH. Perdata tentang perikatan, dimana masuk dalam bagian kelima, mengenai Perikatan Bersyarat. Seperti yang sudah saya jelaskan pada posting sebelumnya, bahwa buku III ini memiliki sifat mengatur, tidak memaksa. Oke, saya mulai dari pasal 1266 dulu yach……! Bunyi pasal 1266 KUH Perdata adalah sebagai berikut:

“Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal balik manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.
Dalam hal yang demikian perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi pembatalannya harus dimintakan kepada hakim
Permintaan ini juga harus dilakukan meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya perjanjian dinyatakan dalam perjanjian
Jika syarat batal tidak dimintakan dalam perjanjian, Hakim adalah leluasa untuk menurut keadaan atas permintaan si tergugat memberikan jangka waktu untuk masih juga memenuhi kewajibannya, jangka waktu mana namun tidak boleh lebih dari satu bulan”

Setelah membaca bunyi pasal tersebut, maka lebih jelas dan “gamblang” dikatakan bahwa pembatalan perjanjian tidak boleh dibatalkan secara sepihak, namun dimintakan pembatalan ke pengadilan. Bagaimana bisa, dengan keadaan bangsa yang sekarang ini, hanya pembatalan perjanjian saja meminta ke pengadilan, tentu biaya, waktu serta tenaga yang dibutuhkan sangat besar. Sulit sekali bukan? Apalagi jika ayat 4 tersebut telah dijatuhkan oleh hakim, namun tergugat setelah satu bulan tetap tidak bisa memenuhinya. Lagi-Lagi kita harus menggugat untuk wanprestasi atau ingkar janji. Jadi, mengenyampingkan pasal ini, dan mencantumkan di perjanjian sangatlah penting.

Lalu bagaimana dengan pasal 1267 KUH. Perdata? Apakah kita perlu mengenaympingkan pasal ini dan mencantumkan dalam perjanjian? Apakah pasal ini perlu? Inilah yang membuat saya bingung dikarenakan banyak sekali para sarjana hukum yang juga mengenyampingkan pasal ini dalam perjanjiannya. Oke, untuk memperjelasnya kita lihat dulu bunyi pasalnya.

“Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika hal itu masih dapat dilakukan, akan memasa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian ataukah akan menuntut pembatalan perjanjian disertai penggantian biaya, kerugian, dan bunga,”

Saya rasa bunyi pasal ini telah jelas. Lalu mengapa pasal ini juga ikut dikesampingkan? Dan tidak digunakan? Padahal pihak yang merasa dirugikan karena tidak terpenuhinya perikatan dapat meminta:
1. Pemenuhan perjanjian
2. Pembatalan perjanjian
3. Pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi dan/atau bunga
4. Pembatalan perjanjian disertai gantirugi dam/atau bunga

Hal ini yang dapat digunakan untuk pihak yang dirugikan dalam hal somasi, yaitu pihak yang dirugikan akan memberikan tenggang waktu kepada pihak lain (merugikan) untuk segera mengganti atau tetap memenuhi isi perjanjian itu dalam jangka waktu tertentu. Dan ini dapat dimintakan ke pengadilan tentang empat pilihan diatas, jika lewat jangka waktu tersebut tetap tidak dapat dipenuhi permintaannya. Jika hanya menginginkan untuk tidak perlu memintakan pembatalan perjanjian lewat pengadilan, saya rasa cukup mengenayampingkan pasal 1266 KUH. Perdata saja, dan tidak perlu Pasal 1267 KUH. Perdata, juga ikut dikesampingkan dan dicantuman dalam perjanjian. Setelah membaca opini dari tulisan saya ini, apakah pasal ini sangat perlu atau tidak? Silahkan direnungkan.

3 komentar:

Denmas Arifin mengatakan...

Menurut saya, pengenyampingan Pasal 1267, adalah sebagai suatu tindakan demi kepastian pelaksanaan kesepakatan/ketentuan yg dituangkan dalam Perjanjian ybs. Sehingga acuannya bg para pihak menjadi jelas dan fokus/satu-satunya, manfaatnya adalah untuk mencegah timbulnya ketidakpastian baik dalam hal waktu maupun pilihan tindakan penyelesaian yg sgt boleh jd cdrg merugikan Pihak yg diwajibkan memenuhi prestasi/Debitur. Hal demikian jg sbg langkah antisipasi kmgkn digunakannya hak dlm Pasal 1267 tsb secara sewenang2 oleh Pihak yg berhak atas prestasi/Kreditur, mengingat pilihan tindakan/tuntutannya ada ditangan Kreditur sepenuhnya, terkecuali dlm hal pada akhirnya penyelesaiannya dimohonkan kpd Hakim.

detEksi mengatakan...

wah terimakasih informasi ini sangat bermanfaat

Anonim mengatakan...

Terimakasih sebelumnya atas pengulasannya Izuko,

menurut saya pada akhirnya kegunaan masing-masing pasal tersebut akan berguna sesuai dengan situasi dan kondisi negoisasi perikatan para pihak...
bila perlu cantumkan bila merugikan.. ya kesampingkan.. tergantung posisi pihak anda toh :)

cheers

My Friends...